September 25, 2008

sudah pulang

Saya sukses menanamkan dalam otak saya, bahwa kematian itu semata hanya peristiwa alam biasa. Kematian tidak berbeda jauh dengan matinya pohon. Ada pohon yang mati pada saat baru tumbuh. ada juga pohon yang mati pada saat sudah tua. Pemikiran itu yang membuat saya sukses tidak menitikkan air mata pada setiap kematian. Tidak butuh emosi dalam kematian. Kenapa harus menangis tersedu-sedu untuk peristiwa yang biasa?. Kenapa harus menangis menangis untuk peristiwa yang pasti akan kita alami?. Mati berarti mengakhiri sebuah proses, dan mulai memasuki proses baru lagi.

Dan pertahanan saya benar-benar runtuh senin pagi itu. Saat saya menemui Simbah Simak saya yang sudah tidak bernyawa. Dan segala pemikiran aneh-aneh saya tentang kematian pun tidak saya ingat lagi. Saya hanya ingin menangis.menangis.menangis. Ada banyak emosi yang terlibat. Saya tidak bisa mendefinisikannya satu-satu. Padahal malam itu Simbah Simak saya masih tarawih di masjid. Masih membangunkan orang-orang serumah untuk sahur. Masih sempat puasa.

Saya masih ingat sekali malam simbah menyanyi sampe larut malam. menggulung stagen bersama simbah. Pergi kepasar sebelum Lebaran bersama simbah. Tidur dengan baju hangat yang disiapkan simbah. Obat nyamuk yang dibakarkan simbah untuk saya. Makanan yang selalu disimpan di getong beras untuk saya. Tertawa terkekeh-kekeh saat nonton tivi. Menggosok punggung simbah dengan batu apung. Cerita-serita jaman perjuangan versi beliau. Ciumannya menyambut saya pulang. Wajah kecewanya karena saya selalu terburu-buru pulanh ke Jogja. Sayur gori favorit saya. tempe bacem buatannya. Menyuapi adik saya di rel kereta. Pijatannya saat saya sakit. Wajah bahagianya pas saya godain. Cubitannya kalo saya susah bangun. Tangis sedihnya saat saya pergi. Banyak sekali yang simbah saya lakukan untuk saya. Dan saya belum berbuat apa-apa untuk beliau. Terlambat memang kata yang pantas disesali.

Tapi mungkin itu keputusan paling baik yang Tuhan buat untuk Simbah. Mungkin Tuhan kasihan melihat betapa susahnya Simbah saya timpuh saat shalat. Atau kedinginan saat mengambil air wudlhu dari padasan. Saya tahu Tuhan pasti memberi tempat yang baik untuk Simbah saya. Tempat yang lapang, terang, lembut, beralas beledu. Tuhan pasti juga sudah menyembuhkan rematiknya. Memberinya air wudlhu yang hangat. Makanan bergizi. Acara TV favoritnya. Apa saja yang simbah saya butuhkan. Tuhan pasti ingin simbah saya sholat dengan sempurna di sampingnya. Jadi Dia mengambilnya cepat-cepat.

Ah, seharusnya saya tidak terlalu sedih. Simbah simak saya yang baik itu pasti mendapat tempat yang baik. Saya yakin. Karena Beliau wanita paling baik yang pernah saya kenal. ketulusan. Keiklasan. Nrimo. Perjuangan. Rendah hati. Mau berkorban. Taat. Jujur. Dan semua sifat baik yang saya tau. Mungkin beliau memang sudah meninggal. Tapi saya tahu, dia tidak pernah mati. Dia selalu ada di hati saya. Nasehatnya masih ada. Lagu-lagu yang diajarkannya masih terkenang. Senyum tuanya masih ada. pijatannya masih terasa. Saya bangga sekali kecil dan menjadi besar dalam rawatannya.

September 17, 2008

Tenang, ika

Tenang.Tenang.Tenang.sabar.sabar.ambil nafas dalam-dalam. pejamkan mata. dan anggap saja semuanya mimpi. Semuanya akan berjalan dengan ok, kalo kamu berfikir bahwa semuanya akan baik-baik saja.baik-baik saja.baik-baik saja.

::Kata peri kecil warna biru cantik yang masuk ke jendela kamar saya yang tidak tertutup, saat saya di depan komputer. telphon tak berhenti berdering, diburu-buru, dikejar waktu, kaki saya sakit, sebuah batu mengganjal di dada. Dan hampir-hampir airmata saya tumpah.

September 12, 2008

Bicycle memories

Tau tidak apa yang saya pikirkan ketika saya mendengar kata sepeda?

Saya selalu ingat simbah kakek saya. Setiap pulang sekolah, saya selalu diajaknya memancing ke berbagai kali di kampung saya. Kami selalu naik sepeda. Berdua saja. Jangan kira saya suka memancing. Saya tidak terlalu suka duduk merenung di pinggir kali sambil menunggui ikan memakan umpan kami satu-satu. Saya tidak terlalu sabar dalam hal itu. Biasanya saat simbah kakek saya memancing, saya lebih suka mencari bunga-bunga rumput untuk dibuat bando. Saya paling suka bagian berangkat dan pulang memancingnya. Saat saya dibonceng simbah kakek saya yang tua, dengan topi belanda putih dan celana buntung, dan saya kecil ada diboncengan, dengan gagang pancing dibahu, tempat ikan di pinggang, serta bando bunga rumput di kepala saya. Ah, saya suka sekali waktu angin sungai menampar-nampar pipi saya, dan suara derit rantai sepeda di sekitar saya, sesekali bel sepeda mbah kakek terdengar, dan bau rumput dimana-mana. Saya suka sekali.

Tau tidak apa yang saya pikirkan ketika saya mendengar kata sepeda?

Saya selalu ingat sahabat-sahabat saya. Saya sering naik sepeda beramai-ramai dengan teman-teman saya, salah satunya adalah teman saya ini. Kami sering berkhayal bahwa kami adalah lima sekawan yang sedang berpetualangan, kami memasuki daerah baru, dimana akan ada banyak penyamun dan perampok disana, dan kamilah yang akan menangkap perampok-perampok itu. Mangkir pramuka dan keliling-keliling naik sepeda adalah kegiatan favorit kami. Apalagi kalo kami menemukan jalan baru. Wuah, rasanya seperti Columbus menemukan Bahama. Waktu itu motto kami adalah, sebuntu-buntunya jalan, pasti bisa dilewati. Oh, bahkan kami sempat mengikrarkan janji persahabatan kami.

Tau tidak apa yang saya pikirkan ketika saya mendengar kata sepeda?

Saya ingat gambar Yogyakarta tempoe Doeloe, yang ditempel di warung bakso favorit saya. Ada gambar Tugu Jogja disana, dikelilingi pengendara-pengendara sepeda di kanan kirinya. Pasti menyenangkan sekali waktu itu, saat sepeda mendominasi jalan, saat suara kring-kring bel sepeda terdengar bersahut-sahutan, saat kita semua bisa saling menyapa dan tos kanan kiri. Tidak ada asap, tidak ada suara klakson menyebalkan bersahut-sahutan. Pasti kita tidak perlu mengenakan slayer kemana-mana.

Tau tidak apa yang saya pikirkan ketika saya mendengar kata sepeda?

Saya ingat foto simbah kakek saya diatas sepeda posnya, dengan 2 kantong hitam menggelembung di kanan kirinya. Saya ingat pulang, dimana saya bisa keliling-keliling naik sepeda dengan adik-adik dan keponakan-keponakan saya. Saya ingat Ibu-ibu membawa keranjang sarat sayuran, yang pergi ke pasar pagi-pagi buta. Saya ingat Bapak-bapak penjual beras di dekat stasiun kota saya. Saya ingat phanter, sepeda favorit saya yang setia, yang menemani saya ke kampus, ke kos, ke tempat kerja, kemana-mana. Berdua saja. Saya dan sepeda warna hitam .

Dan berita gembiranya adalah, saya punya sepeda lagi. Bukan sepeda cantik warna biru yang saya lihat di basement saphir Square, sekeras-kerasnya saya menabung, saya pasti tidak tega membelanjakan uang sebanyak itu untuk beli sepeda. Sepeda saya tak kalah cantik. Berwarna merah, dengan bel kecil lucu berwarna perak, dengan 5 gigi yang bisa dipindah-pindah. Genjotannya enteng, Dan sedelnya empuk. Aduh, saya suka sekali menaikinya dan angin menampar-nampar pipi saya. Menggelembungkan baju saya. Mengacak-acak rambut saya. Dan kaki saya serasa enteng sekali waktu mengayuh pedalnya. Putaran jeruji rodanya terasa nyaman sekali di hati, Saya sepeti terbang dalam putaran rodanya, aman, nyaman, damai. Apalagi ketika saya merentangkan kedua tangan saya, dan angin menyapu tubuh saya yang berkeringat. Menerbangkan bau rumput dan daun-daun yang luruh. Rasanya sungguh bebas, saya seperti menghilang, menjadi kabut, dan bersatu dengan angin……….

September 10, 2008

Bagamana Rasanya Terbang

Kamu bisa terbang?. Iya, benar, terbang. Sambil mengepakkkan sayapmu. Tidak bisa?. Oh, sudah kuduga. Hei, dengar, ya, Saya punya rahasia. Dan saya hanya akan membaginya denganmu. Berjanjilah kamu tidak akan bilang siapa-siapa. Rahasianya adalah, saya bisa terbang. Iya, benar, saya bisa terbang.

Tidak percaya?. Kapan-kapan, menginaplah dirumah saya, nanti saya akan ajari kamu terbang, Oh, kebetulan dirumah saya ada 1 kamar tidur yang kosong. Tidak terlalu besar. Tapi kamu kan tidak perlu membawa barang banyak. Kamu cukup membawa sayapmu saja dalam tas.

Nanti, 1 jam setelah tengah malam., saya akan membangunkanmu. Ayo, cepatlah bergegas. Kenakan sayap putihmu dipunggung. Cepatlah berjalan. Lewat belakang. Iya, benar, lewat belakang, jangan lewat depan. Ini rahasia, oke?. Jangan sampai tetangga sebelah rumah saya melihat kita terbang. Yak, betul, kita lewat pintu belakang, lewat rumpun-rumpun mawar yang saya tanam di halaman belakang. Hey, bukan benar-benar keluar. Kita hanya perlu melewati batang pohon flamboyant berbunga warna orange yang berbentuk gerbang.

Nah, kau lihat kan, ini dunia yang benar-benar beda. Dunia dibalik gerbang flamboyan. Jangan tengok kebelakang. Kita tidak memerlukan barang-barang di balik gerbang. Kau bisa lihat tidak, cahaya kuning kerlapkerlip seperti kunang-kunang?. Terbang kesana kemari diatas runput setebal beludru yang kita injak?. Ayo, coba lihat lebih jelas. Kelihatan kan kalo itu bukan benar-benar kunang-kunang. Itu semacam peri-peri kecil yang mengeluarkan cahaya dari tubuhnya, Mereka mengenakan gaun pendek berwarna kekemasan, diatas kepalanya ada semacam tiara kecil yang berkilauan. Sayapnya transparan. Dengan glitter warna-warna seperti yang kau pasang di cat kukumu. Lihat kan, mereka bertepuk tangan sambil tersenyum menyambut kedatangan kita.

Ayolah, jangan terlalu lama terpana seperti itu. Sini, saya gandeng tanganmu. Hentakkan kakimu ketanah. Nah, lihatkan kaki kita tidak menginjak bumi lagi. Kita tidak lagi terpengaruh oleh gaya grativasi bumi. Coba gerakkan sayapmu lebih sering. Lihat, kita mulai melayang lebih tinggi. Hey, jangan takut, sini, pegang tangan saya. Tuh, kan kita terbang. Kamu bisa merasakan hawa sejuk cenderung dingin membelai pipimu, kan?. Kita terbang. Tinggi. Tinggi. Tinggi. Tinggi.

Pejamkan saja matamu. Biarkan angin membawamu terbang melayang kesana kemari. Bisa kau cium kan bau daun-daun basah?. Atau angin yang mendesing pelan di sekitar telingamu?. Lihat, kan betapa ringan lenganmu?. Kamu lihat, kerlap-kerlip cahaya peri kecil mengikuti kita. Damai. Nyaman. Perlahan. Dan semua waktu milik kita. Kita bisa bebas terbang, berputar, menari, tertawa.

Kau dengar sesuatu?. Seperti suara tawa?. Ayo ikuti saya pergi kebalik awan. Oh oh, maaf, sebenarnya saya bohong padamu. Ini bukan rahasia, kok. Ini dunia mimpi. Semua orang punya sayap dan bisa pergi ke balik pohon flamboyant berwarna orange. Orang-orang hanya cukup memejamkan matanya. Karena hanya dengan mata terpejam pikiran kita bisa terbuka lebih lebar. Dan kamu bisa menjadi apapun yang kamu inginkan. Meninggalkan dunia nyata yang penat dan pura-pura, rutinitas yang membosankan, pekerjaan yang tak kunjung selesai, hal-hal yang terpaksa harus kita kenakan dan kerjakan, tugas-tugas tak masuk akal, rasa lelah, sedih, lungkrah, ketegangan-ketegangan, ketakutan, amarah, emosi, persaingan, penindasan, kekurangan, dan hal-hal buruk yang hanya bisa kamu temui di dunia nyata. Karena disini hanya ada 4 rasa, damai, damai, damai dan damai. Tak perlu berebut, Disini semua orang akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Siapa yang ingin dan tidak ingin mereka temui.

Oke, jadi kamu sudah tau kan, bagaimana rasanya terbang?

Kamu hanya perlu memejamkan matamu. Dan saya akan membangunkanmu 1 jam setelah tengah malam.

September 02, 2008

Yang Bermula dan yang Berakhir

Banyak sekali yang berakhir dan bermula dibulan-bulan ini. Beberapa memang mesti berakhir dan berawal dengan baik. Beberapa yang lain. berakhir dengan tidak baik,dan tentu saja, nanti akan bermula kembali dengan baik. Dan sebagian yang lainnya, sedang bertekad untuk berakhir dan bermula dengan baik.

Dan peristiwa-peristiwa itu melibatkan saya didalamnya.

Tapi yang paling membahagiakan adalah berakhirnya sebuah kisah biru, yang akhirnya bisa membuat saya terbang dengan ringan. Sayap saya sekarang bisa bekerja dengan lebih tenang, otak dan pikiran saya juga bisa sedikit beristirahat dengan nyaman.

Iya. sekarang saya bisa menguasai rumah saya sendiri. Tanpa perlu takut, suatu hari raksasa troll akan datang, menanyakan timun mas, dan mengobrak-abrik rumpun-rumpun mawar saya. Saya tidak perlu lagi menyimpan daun teh kering di tolpes mungil warna biru milik saya, berjaga-jaga suatu hari Troll datang, dan saya siap melenakannya dengan teh tubruk buatan saya.

Saya bisa bernafas dengan lega.

Meski ada lubang sebesar lubang jarum yang masih baru.

Tapi yang lain juga masih membutuhkan saya disampingnya.

Pasti akan ada orang lain yang akan datang ke rumah saya. Kamu bisa melihatnya, kan?. Rumah saya ada diujung jalan setapak dimana pohon bunga flamboyan tumbuh di samping kanan kirinya, rumah saya berwarna biru, dengan gantungan doraemon dan burung kertas warna-warni ada dibalik jendela yang selalu terbuka.

Masuk saja, kalo kamu datang berkelompok, telphon saya dulu, supaya saya bisa siapkan kursi-kursi dihalaman belakang. Kalo kamu mengetuk pintunya dengan keras, saya pasti keluar. kalo saya tidak keluar juga, mungkin saya sedang dihalaman belakang, sedang mengurus rumpun-rumpun mawar saya. Susul saja. Lewat samping rumah.

Tapi jangan minta dibuatkan teh tubruk, ya. Saya tidak punya lagi. Teh tubruk selalu mengingatkan saya pada Raksasa Troll. Saya punya sesuatu yang lain, kopi dari kampung halaman, minuman sachet rasa buah, atau kalo kamu benar-benar ingin teh, teh celup saja, ya?


tidak usah kuatir, biar untuk orang lain saja, sudah saya hapus cepat-cepat, tapi bagaimana saya lupa?