Oktober 02, 2008

Apa yang Tidak Bisa Kita Sukuri Hari ini

2 hari lagi lebaran. Beberapa kali tarawih dikampung benar-benar membawa energi positif bagi saya. Meski sapaan-sapaan tetangga-tetangga saya masih tetap menyebalkan. "Ya ampun Ika, bocah koyo rinjing siki". Rinjing=keranjang besar dari bambu.Huhu. Tapi senang sekali bisa kembali merasakan angin yang bertiup kencang di halaman belakang rumah simbah saya dan menggoyangkan mangga-mangga harummanis yang bergelantungan. Perjalanan tiap pagi ke kuburan pun terasa enteng. Kerikil-kerikil terasa nyaman terinjak kaki -ya ampun, betapa bahagianya tidak ada yang memaksa memakai sepatu disini, sandal pun boleh tidak saya pakai-. Kepasar dengan sepeda kesayangan juga terasa begitu menyenangkan. Ditambah 3 hari tanpa dering telphon. Oh, terimakasih salah satu operator CDMA tidak bersinyal disini. Aduh, senang sekali tidak bisa dihubungi.

Dan kemudian, bagian dari hidup saya yang tidak menyenangkan mesti harus hadapi lagi. Berkabung rupanya bukan alasan untuk tidak kembali kealam nyata. Blus rapih. Sepatu. Hitungan. Komputer. Handphone. Senyuman 5 detik. Wajah bahagia. Bahkan melihat anak kecil diperempatan sana saya iri. Betapa bebasnya Ia.

Perjalanan malam sepulang kerjapun harus saya ikuti kembali ritmenya. Dan agak terhenti sebentar ketika saya mendengar ribut-ribut di pinggir lapangan bola lumayan terkenal di Yogya. Beberapa laki-laki berseragam membangunkan gelandangan dan pengemis yang tertidur disitu. memaksa mereka naik ke mobil. Sebagian meronta. Sebagian pasrah. Dan yang lebih menyebalkan, saya tidak bisa membantu apa-apa. Lebih menyesal lagi karena saya bukan orang shalih. Tadarus saja jarang. Jadi pasti doa saya pada Tuhan agar mereka baik-baik saja tidak dikabulkan. Haha.

Saya tidak pernah mengenal mereka. Tidak pernah tau siapa mereka. Tapi mereka jelas punya keluarga. Mungkin mereka sengaja disana karena menunggu zakat dari para dermawan. Anak cucu mereka menunggu dirumah, berharap Bapak atau Ibu mereka pulang membawa beras, Mie instan, sarden, Gula, Teh, sukur-sukur baju murahan dari pasar, atau sandal bekas dari orang. Siapa tahu. Lebaran kan milik semua orang.

Jadi, apa lagi to, yang tidak bisa kita sukuri hari ini?. Pekerjaan yang layak, tubuh yang sempurna fungsinya. Badan yang sehat. Rumah yang nyaman. Gaji. THR. Perut yang jarang lapar. Tetangga yang baik. Teman-teman yang selalu membantu. eh, lha kok selalu aja ada hal-hal lain yang kita cari untuk dikeluhkan.

Lalu, apa iya, kita pantas berdesak-desakan di toko baju hanya untuk sekadar beli baju buat nanti lebaran. Padahal begitu banyak baju kita bertumpuk dilemari. kemudian berebut membeli kue-kue lebaran di supermarket. Supaya kita dipuji karena kue kita paling enak diantara tetangga-tetangga. Lalu berlomba-lomba membeli parcel paling tinggi. Untuk diberikan pada relasi yang jelas-jelas dia pasti bisa membeli parcel sendiri. Dan mbak-mbak dan mas-mas yang tumplek blek dijalanan itu, yang tujuannya cuma pengen berbuka berdua-duaan, Sampai jalanan harus macet karena mereka. Coba tengok orang-orang yang tadinya ada dipinggir lapangan itu. Apa mereka enggak sakit hati dengan segala tingkah laku ini.

Saya pikir bukan begitu caranya menang.

Ah, bagaimanapun Tuhan selalu terlalu baik. Jadi apa lagi yang tidak bisa kita sukuri hari ini?. Kehidupan yang menyebalkan pun pasti ada sejengkal kisah yang bisa membuat kita tertawa. Kesendirian yang membosankan? Ah, pasti akan ada manusia lain yang menjajari langkah kita. Dosa yang bertumpuk-tumpuk? Pasti akan selalu ada pintu yang terbuka. Tuhan selalu terlalu baik, kan?. Janjinya adalah tidak memberi ujian diluar kemampuan mahlukNya. Hikmahnya ada dimana-mana. Bahkan kisah orang-orang dipinggir lapangan itu juga memberi hikmah pada saya untuk selalu bersyukur. Jadi, apa lagi?